COP30 Climate Summit 2025 Gagal Hasilkan Kesepakatan Penghentian Bahan Bakar Fosil
COP30 2025: Harapan Tinggi, Hasil Mengecewakan
Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30, yang digelar di Brasil pada November 2025, resmi berakhir dengan hasil yang membuat banyak pihak kecewa. Setelah negosiasi panjang dan intensif, pertemuan itu gagal menghasilkan kesepakatan global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil — sebuah isu yang dianggap krusial untuk menekan laju pemanasan global.
Padahal, harapan publik dan komunitas ilmiah sangat besar. COP30 semestinya menjadi “momen penentu” setelah bertahun-tahun dunia gagal menekan emisi secara signifikan.

Bahan Bakar Fosil: Topik Panas yang Tidak Terselesaikan
Lebih dari 80 negara datang dengan tuntutan tegas: dunia harus segera memulai phase-out (penghentian bertahap) penggunaan minyak, gas, dan batu bara. Namun, negara-negara produsen minyak terbesar — termasuk beberapa negara Teluk dan produsen batu bara besar — menolak memberikan komitmen jelas.
Negosiasi akhirnya mengalami kebuntuan. Hasil akhirnya hanya berupa kompromi lemah, yaitu komitmen untuk “mengurangi emisi” tanpa menyebutkan penghentian bahan bakar fosil secara eksplisit.
Beberapa pihak menyebut hasil ini sebagai langkah mundur dibandingkan ekspektasi awal, terutama di tengah suhu global yang terus mencatatkan rekor tertinggi.
Tekanan Publik Meningkat, Tapi Politik Energi Masih Dominan
Selama COP30 berlangsung, aktivis lingkungan, ilmuwan, dan masyarakat sipil menggelar aksi besar-besaran, menuntut keputusan lebih tegas. Tekanan publik menguat karena dampak perubahan iklim kini makin nyata, mulai dari gelombang panas ekstrem hingga krisis pangan di berbagai wilayah.
Namun pada ranah politik, kepentingan ekonomi negara produsen energi fosil masih sangat kuat. Banyak negara bergantung pada pendapatan dari minyak, gas, dan batu bara untuk stabilitas ekonomi mereka.
Akibatnya, diplomasi iklim lagi-lagi berbenturan dengan realitas geopolitik dan ekonomi global.
Reaksi Dunia: Kekecewaan dan Kekhawatiran
Lembaga lingkungan internasional langsung merespons dengan nada kecewa. Mereka menilai kegagalan COP30 menunjukkan bahwa dunia masih belum siap mengambil langkah radikal untuk menghindari krisis iklim jangka panjang.
Sejumlah ilmuwan juga memperingatkan bahwa tanpa langkah tegas terhadap bahan bakar fosil, target batas kenaikan suhu 1,5°C akan semakin sulit — atau bahkan mustahil — dicapai.
“Keputusan ini membuat dunia berjalan semakin dekat ke arah bencana iklim,” ujar banyak pengamat, dilansir dari berbagai sumber internasional.
Brasil sebagai Tuan Rumah: Di Antara Ambisi dan Tekanan
Brasil, selaku tuan rumah, sebenarnya mempromosikan COP30 sebagai momen “global turning point” dalam transisi energi. Namun pemerintah Brasil menghadapi tekanan dari dua sisi:
tuntutan internasional untuk lebih tegas dalam isu iklim, dan
tekanan domestik dari sektor industri yang masih bergantung pada ekspansi energi dan agribisnis.
Hasil akhir yang lemah akhirnya mencerminkan kompleksitas politik internal dan global.
Apa Dampaknya Bagi Masa Depan Bumi?
Gagalnya kesepakatan penghentian bahan bakar fosil di COP30 dipandang sebagai kemunduran besar dalam upaya memerangi krisis iklim. Hal ini menimbulkan beberapa dampak:
1. Transisi energi bersih bisa melambat
Tanpa komitmen global, negara bisa saja menunda peralihan dari fosil ke energi terbarukan.
2. Negara berkembang berpotensi paling terdampak
Mereka yang rentan menghadapi risiko bencana iklim — seperti banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut — tetapi memiliki sumber daya paling sedikit untuk beradaptasi.
3. Tekanan terhadap sektor industri meningkat
Perusahaan besar bisa menghadapi tuntutan publik lebih keras terkait emisi dan keberlanjutan.
Kesimpulan: COP30 Jadi Pengingat Bahwa Perjuangan Iklim Masih Panjang
COP30 2025 menjadi salah satu COP paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Meski pembicaraan berlangsung maraton, hasilnya menunjukkan bahwa dunia masih kesulitan menyatukan visi dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
Kegagalan menyepakati penghentian bahan bakar fosil adalah sinyal penting bahwa agenda iklim global membutuhkan dorongan politik yang lebih kuat, keberanian negara-negara besar, dan tekanan publik yang konsisten.